Menghidupkan Literasi Pancasila melalui Perilaku Sehari-Hari
Menghidupkan Literasi Pancasila – Saya baru saja pulang dari takbir keliling bersama anak-anak TPA (Tempat Pengajian Anak) di dusun saya. Berjalan menyusuri jalan di setiap jalan-jalan kecil sudut kampung menggunakan caya oncor dan ditemani lantunan suara takbir serta bedug beserta alat drum band yang kami bawa untuk memeriahkan acara takbir keliling Idul Adha tahun ini. Saya melihat pantulan tawa di kedua pipi anak-anak dengan caya oncor yang mereka pegang. Saya juga melihat betapa antusias teman-teman Rismas (Remaja Masjid) saat menabuh bedug dan bagaimana cara teman-teman mengatur adik-adik.

Lalu, saya mengingat adik perempuan saya yang juga ikut berjalan kaki berkeliling kampung. Siswi kelas VIII yang sedang senang-senangnya bermain TikTok, seperti remaja pada umumnya.
Misalnya, saat dia bercerita tentang kawannya yang memiliki wajah seperti anak SMA atau saat dia sedang sebal dengan kawannya karena yang sering menyontek. Dengan bulu matanya yang lentik ia menceritakan dengan detail apa yang dialami di sekolah dengan sesekali ia mengedipkan matanya yang belok.
Saya menunggu ia menyelesaikan cerita demi ceritanya. Saya senang dia bisa mengekspresikan rasa sebalnya. Saya bersyukur adik perempuan saya bisa bercerita apa yang dialaminya tanpa pernah saya memintanya. Hal seperti inilah yang menambah daftar rasa syukur saya.
Tidak sabar, saya ingin segera menanggapinya sehingga membuat dia semakin bijak dalam merespons kejadian yang akan dihadapinya, nantinya. Kami, sudah sering melakukan diskusi seperti ini..
Saya belajar menguatkan pada akar, hati baik adik perempuan saya bahwa baik dalam menghargai perbedaan kebiasaan, karakter dengan kawan-kawannya di kelas adalah hal biasa. Saya kerap mengatakan, nikmati jadi anak SMP. Nikmati saat kamu bertemu orang-orang menyebalkan. Dunia ini luas, kamu akan bertemu dengan perlbagai kejutan-kejutan hiup lainnya, tentu sebagai seorang siswi SMP.
Atau menceritakan salah seorang kawannya yang memiliki karakteristik berbanding terbalik dengan adik saya. Suatu hari, adik saya mengatakan kepada Tara saat menuju kamar mandi, “Kamu tuh ga boleh ngomong kayak gini.” Perintah adik saya dengan suara medhoknya.
Diceritakan kalau Tara mengeluh karena perutnya sakit, lupa tidak membawa jilbab, dan di hari selanjutnya berencana untuk tidak berangkat ke sekolah keesokan harinya karena ada pelajaran yang tidak Tara sukai, adalah Matematika.
“Siaaallllll!!” Suara Tara terdengar lebih jelas daripada kalimat sebelumnya.
Belum lagi apabila ada PR, Tara akan selalu mengatakan “tidak” saat dia tidak mengerjakan PR. Lalu, akan mengatakan “ada PR, bu” ketika dia mengerjakan PRnya sedangkan kawan-kawannya tidak mengerjakan, termasuk adik saya, misalnya.
Nduk, kamu akan bertemu orang-orang yang lebih menyebalkan dari kawanmu yang bernama Tara. Akan akan bertemu kawan yang mungkin bisa melukai hatimu karena sikap dan ucap karena kawanmu. Soal Tara yang mengatakan kepada kamu, “mampus looooo!!” karena kamu tidak mengerjakan PR adalah hal yang ya, memang menyebalkan, tapi ternate kamu tidak sakit hati atas apa yang Tara lakukan ke kamu. Katamu, “aku engga sakit hati karena sudah memahami karakteristiknya.”
Lalu, saya terdiam. Apa yang saya tanam selama ini ternyata tumbuh subur di hati adik saya. Dia tidak terganggu atas sikap Tara. Anjani tidak merasa sakit hati dengan kalimat yang diberikan oleh kawannya yang belum lama ia kenal di bangku SMP. Hal remeh temeh inilah yang menjadi tonggak dalam menghargai perbedaan. Ya, daripada belajar langsung melalui hal-hal besar seperti cara untuk membegal para koruptor karena tidak sesuai dengan makna Pancasila atau belajar sikap patrotisme malah jadi beban, bukan sarana edukasi dalam membentuk literasi pancasila.
Menghargai perbedaan watak adalah cara untuk menyadari penuh bahwa Tuhan menciptakan berbagai macam makhluk yang harus mereka ketahui. Semoga dengan langkah-langkah kecil ini bisa dengan perlahan membangun kesadaran makna hakiki pancasila, yaitu tentang menghargai perbedaan, misalnya.